Puasa Intermiten: Manfaat, Cara Kerja, dan Tips Praktis untuk Pemula

Estimated read time 7 min read

Awalnya, saya bukan orang yang peduli banget soal pola makan atau Puasa Intermiten , Saya suka kopi manis di pagi hari, makan nasi padang siang bolong, dan ngemil keripik malam-malam sambil nonton serial. Sampai suatu hari, saat celana kerja mulai terasa sempit dan napas ngos-ngosan naik tangga, saya sadar ada yang harus diubah.

Bukan karena mau kurus semata, tapi karena badan terasa berat dan pikiran pun sering lemot.
Lalu, seorang teman kantor bilang, “Coba deh intermittent fasting, nggak ribet kok. Cuma ngatur jam makan.”

Awalnya saya pikir, “Ah, ini cuma tren baru kayak diet keto.” Tapi rasa penasaran lebih besar dari rasa malas. Jadi saya mulai. Pelan-pelan.

Hari-Hari Awal — Pertempuran Antara Niat dan Ngidam

Puasa Intermiten: Kenali 6 Metode Ampuh Jaga Berat Badan dan Kesehatan,  dari Pemula hingga Ekstrem, Pilih Sesuai Gaya Hidupmu! - Berau Post

Hari pertama, saya pilih pola 16:8 — artinya puasa 16 jam dan makan 8 jam. Jadi saya makan dari jam 12 siang sampai 8 malam. Kedengarannya mudah, tapi kenyataannya… wow, jam 10 pagi perut sudah mulai “konser”.

Biasanya jam segitu saya sudah ngopi manis plus roti keju. Tapi kali ini, saya cuma boleh minum air putih atau kopi hitam tanpa gula.
Rasanya kayak ditampar realita Mitra keluarga.

Saya ingat banget, hari ketiga itu yang paling parah. Teman-teman kantor makan donat cokelat di depan saya, dan saya cuma bisa menatap sambil meneguk kopi pahit. Tapi lucunya, setelah seminggu, tubuh mulai menyesuaikan. Rasa lapar pagi hari mulai hilang, dan energi saya malah terasa lebih stabil.

Di minggu pertama itu juga saya mulai sadar sesuatu — ternyata saya dulu nggak lapar, tapi bosan.
Saya makan bukan karena butuh, tapi karena kebiasaan. Dan puasa intermiten bikin saya belajar membedakan mana lapar beneran, mana cuma craving.

Apa Itu Puasa Intermiten, Sebenarnya?

Sebelum saya lanjut cerita, mungkin ada baiknya saya jelaskan sedikit konsepnya.
Puasa intermiten (intermittent fasting) bukan diet dalam arti melarang makanan tertentu.
Ini lebih ke pola waktu makan. Ada beberapa metode populer, seperti:

  • 16:8 → puasa 16 jam, makan 8 jam.

  • 5:2 → makan normal 5 hari, kalori dibatasi di 2 hari lainnya.

  • Eat-Stop-Eat → puasa penuh 24 jam sekali atau dua kali seminggu.

Saya pribadi lebih cocok dengan 16:8. Karena lebih fleksibel — saya masih bisa makan apa aja selama jendela makan, asal nggak berlebihan.

Dan menariknya, ada banyak riset yang mendukung manfaatnya: dari menurunkan kadar insulin, meningkatkan fokus, hingga memperbaiki metabolisme.
Tapi yang paling saya rasakan bukan cuma di tubuh, tapi juga di pikiran.

Kejernihan Pikiran dan Fokus yang Meningkat

Setelah sekitar dua minggu, saya mulai merasakan perubahan yang mengejutkan.
Pagi hari, yang dulu sering saya isi dengan kopi manis dan sarapan berat, sekarang jadi waktu paling produktif. Otak terasa lebih “bersih”. Saya bisa fokus baca, menulis, atau mengajar tanpa merasa ngantuk atau lesu.

Ternyata, saat tubuh tidak sibuk mencerna makanan, energi bisa dialihkan ke hal lain.
Dan saya baru sadar betapa selama ini saya “tergantung” pada makanan untuk menjaga semangat.

Bahkan secara spiritual, puasa intermiten memberi semacam mindfulness.
Saya mulai lebih sadar terhadap tubuh saya sendiri — kapan saya benar-benar lapar, kapan saya hanya ingin “mengunyah sesuatu”.

Buat saya, ini bukan cuma soal fisik. Ini tentang hubungan yang lebih sehat dengan tubuh.

Makan Lebih Sadar, Bukan Lebih Sedikit

Salah satu miskonsepsi besar tentang puasa intermiten adalah “kamu nggak boleh makan”.
Padahal bukan itu. Kamu boleh makan, tapi pada waktu tertentu.

Dulu, saya sering asal makan — cepat-cepat, sambil scrolling HP. Sekarang, tiap kali waktu makan tiba, saya benar-benar menikmati prosesnya.
Saya lebih memilih makanan bergizi, bukan karena “diet”, tapi karena badan saya menuntut itu.

Saya juga jadi lebih menghargai rasa lapar.
Lucunya, makanan sederhana seperti telur rebus atau sup sayur terasa jauh lebih nikmat setelah menunggu 16 jam.
Ada kepuasan kecil di sana — semacam rasa syukur yang dulu jarang muncul saat saya makan berlebihan.

Kalau kamu pernah makan habis lapar panjang, kamu pasti tahu rasanya. Kayak tubuh bilang, “Akhirnya, kamu dengerin aku juga.”

Kesalahan yang Saya Lakukan di Awal (Dan Pelajaran Berharga di Baliknya)

Saya nggak mau pura-pura sempurna. Di awal, saya bikin banyak kesalahan.

Yang pertama: balas dendam makan.
Begitu jendela makan dibuka, saya langsung “gaspol” — makan nasi goreng, es kopi susu, dan camilan.
Hasilnya? Berat badan nggak turun, malah naik sedikit.
Dari situ saya belajar bahwa puasa intermiten bukan izin untuk “pesta” setelah jam puasa selesai.

Kesalahan kedua: kurang minum air putih.
Sering kali saya kira saya lapar, padahal cuma dehidrasi.
Jadi sekarang saya pastikan selalu ada botol air di meja kerja. Minum banyak air itu kunci.

Dan yang ketiga: nggak sabar.
Saya pikir hasilnya bakal terlihat dalam seminggu. Ternyata, butuh waktu lebih lama. Tapi begitu hasilnya mulai terasa — tidur lebih nyenyak, kulit lebih cerah, dan baju terasa longgar — semuanya sepadan.

Manfaat Kesehatan yang Saya Rasakan Secara Nyata

Bukan sekadar teori, saya benar-benar merasakan manfaatnya:

  • Berat badan turun 5 kg dalam 2 bulan tanpa olahraga ekstrem.

  • Energi stabil seharian, tidak ada lagi crash setelah makan siang.

  • Gula darah dan kolesterol lebih seimbang (ini berdasarkan hasil lab, bukan asumsi).

  • Tidur lebih nyenyak karena pola makan lebih teratur.

Tapi yang paling berharga bagi saya bukan sekadar angka di timbangan.
Yang berubah adalah cara saya memandang makan — bukan sebagai pelarian stres, tapi sebagai bentuk perawatan diri.

Tantangan Sosial — Ketika Orang Lain Tidak Mengerti

Nah, ini bagian yang lucu sekaligus tricky.
Kadang, orang sekitar nggak ngerti kenapa saya “nggak sarapan”.
Ada yang bilang, “Nanti maag lo kambuh,” atau “Sarapan itu penting banget!”

Saya nggak menyalahkan mereka, karena dulu saya juga berpikir begitu.
Jadi saya belajar untuk tidak memaksakan pandangan saya ke orang lain.
Saya tetap ikut kumpul, tetap makan bareng, cuma waktunya disesuaikan.

Puasa intermiten bukan tentang membatasi diri dari kehidupan sosial, tapi belajar menyesuaikan ritme hidup dengan cara yang lebih sadar.

Tips Praktis Buat Kamu yang Mau Coba

Kalau kamu tertarik mencoba puasa intermiten, ini beberapa tips dari pengalaman saya:

  1. Mulai dari pola 12:12 dulu.
    Jangan langsung 16:8 kalau kamu belum terbiasa. Perlahan aja.

  2. Minum air putih banyak.
    Ini membantu menekan rasa lapar dan menjaga metabolisme.

  3. Jangan jadikan alasan untuk makan sembarangan.
    Fokus ke kualitas makanan, bukan cuma jamnya.

  4. Tidur cukup.
    Puasa intermiten akan lebih efektif kalau kamu punya waktu istirahat yang baik.

  5. Catat perubahan.
    Saya bahkan bikin jurnal kecil untuk mencatat energi, mood, dan berat badan tiap minggu. Ini membantu melihat progres.

Menggabungkan Puasa Intermiten dengan Gaya Hidup Sehat Lain

Bugar dengan Puasa Intermiten | tempo.co

Setelah beberapa bulan, saya sadar bahwa puasa intermiten bukan solusi tunggal.
Dia lebih seperti fondasi — membantu saya menata ulang pola makan, tapi tetap harus diimbangi olahraga ringan, tidur cukup, dan manajemen stres.

Saya mulai jogging ringan tiga kali seminggu, dan hasilnya jauh lebih terasa.
Puasa intermiten membuat tubuh lebih responsif terhadap gerak dan nutrisi.

Bahkan di saat saya sedang tidak “berpuasa”, tubuh saya tetap tahu kapan harus berhenti makan.
Kayak punya sensor alami yang dulu nggak berfungsi.

Refleksi — Puasa Intermiten Mengubah Cara Saya Memperlakukan Diri

Sekarang sudah hampir setahun sejak saya pertama kali mencoba puasa intermiten.
Dan jujur, ini bukan lagi tentang “diet” bagi saya. Ini gaya hidup yang membuat saya lebih sadar, lebih tenang, dan lebih menghargai tubuh sendiri.

Saya nggak lagi makan karena bosan, atau karena stres. Saya makan karena memang butuh energi.
Dan setiap kali saya buka puasa, ada rasa syukur kecil di dalam diri — seperti hadiah setelah menunggu.

Kadang orang bilang puasa intermiten itu sulit.
Tapi buat saya, yang sulit itu bukan menahan lapar, melainkan menahan kebiasaan lama yang nggak sehat.

Puasa Intermiten Bukan Sekadar Pola Makan — Tapi Perjalanan Menemukan Keseimbangan

Kalau kamu sedang mencari cara untuk menurunkan berat badan, menata pola makan, atau sekadar merasa lebih baik dengan tubuhmu, mungkin puasa intermiten bisa jadi awal yang baik.
Tapi ingat, bukan soal cepat atau tren. Ini soal mendengarkan tubuhmu dan membangun hubungan yang lebih baik dengan makanan.

Buat saya pribadi, puasa intermiten bukan cuma membuat tubuh lebih ringan, tapi juga pikiran lebih jernih.
Dan mungkin, itu manfaat terbesar dari semuanya.

Baca fakta seputar : Healthy

Baca juga artikel menarik tentang  : 4 Manfaat Kedelai untuk Kesehatan dan Kehidupan Sehari-Hari

Author

You May Also Like

More From Author