Aku tuh masih inget banget pertama kali “datang” ke Kampung Wisata Panglong—kayak masuk ke dunia lain gitu, serius. Lokasi persisnya di Desa Berakit, kecamatan Teluk Sebong, Bintan—sekitar 50 km dari Tanjung Pinang, atau sekitar sejam perjalanan kalau lancar jalanannya . Nah yang bikin spesial, jarak ke Pelabuhan Tanjung Berakit cuma sekitar 200 meter—super strategis
Begitu masuk Pintu Travel, aku yang biasanya expect banyak spot wisata modern—tapi nyatanya malah nemu suasana kampung nelayan yang terasa begitu “apa adanya.” Nggak ada yang fancy—cuma gapura sederhana bertulis “Kampung Wisata Panglong,” rumah panggung nelayan, anak-anak main di tepi laut, ibu-ibu ngobrol santai, bapak-bapak lagi nyelesaiin kerjaan simpel Biar aku bilang: vibe-nya lebih terasa ‘hidup’ daripada ‘dipajang’.
Lalu, dapur arang itu lho—bentuknya kubah ala piramida, duuh, bener-bener nyuri perhatian. Ternyata itu dulu digunakan buat bikin arang dari kayu bakau, sampai akhirnya produksinya dihentikan karena mangrove perlu dilindungi Bangunan itu jadi semacam “monumen” sejarah yang bikin kita ngerasa connect sama masa lalu, bukan cuma selfie-selfie.
Oh, terus ada yang nyambung banget sama yang namanya toleransi antarumat beragama. Aku sempet liat masjid dan gereja yang saling “nempel”—dipisahkan cuma jalan setapak kecil aja. Harmonis gitu banget ya… bikin hati adem gitu kan
Jadi, singkatnya—keindahan Kampung Wisata Panglong itu bukan cuma soal alam, tapi lebih ke kehidupan budaya, sejarah, dan nilai-nilai yang tetap dijaga di era modern ini. Bikin kamu ngerasa dapet ‘kebaruan’ tapi juga akrab.
Akses menuju Kampung Wisata Panglong
Oke, sekarang pertanyaannya: gimana sih caranya sampai ke sana? Nah, kayak yang aku sebut tadi, jaraknya sekitar 50 km dari Tanjung Pinang—kurang lebih sejam perjalanan Kamu bisa naik mobil atau motor sewaan, atau ikut paket wisata lokal yang biasanya nawarin destinasi sekitar Teluk Sebong Batamnews.
Kalau kamu dari luar daerah, paling mudah lewat Pelabuhan Tanjung Berakit juga—tinggal jalan kaki sebentar aja sekitar 200 meter—udah nyampe deh Mengenai jalan, kondisi relatif oke sih, tapi ya tetap santai aja dan perhatiin rambu lokal.
Tips unik nih: karena fasilitas umum di sana masih ala kampung banget—kayak nggak ada ATM, toilet umum, atau warung modern—mending kamu bawa uang tunai dulu, dan siap dengan kebutuhan pribadi seperti tisu basah atau air minum. Beberapa WC umum cuma bisa pake milik warga, dengan izin khusus
Terus, kalau kamu pengen lebih nyambung bener sama cerita lokal, mending deh nyewa pemandu lokal. Mereka bisa jelasin soal sejarah dapur arang, tradisi Suku Laut, bahkan trik nelayan jitu—itu yang bikin kunjunganmu bukan cuma “liat-liat,” tapi “nge-resapi.” Plus, kamu juga bantu ekonomi lokal dong
Tips Mengunjungi Kampung Wisata Panglong
Ini penting banget, jadi dengerin!
a. Hormati adat & budaya lokal. Jangan berisik atau sembarangan masuk ke rumah orang—itu kampung nelayan, bukan showroom wisata.
b. Pakaian nyaman dan sopan adalah pilihan bijak—apalagi kalau kamu berencana ikut aktivitas nelayan atau jelajah kampung.
c. Bawa uang tunai. ATM atau digital payment? Lupa aja dulu. Transaksi di sini masih sangat tradisional—tawar gampang, sodor, langsung beres
d. Interaksi lokal. Coba deh ngobrol santai sama warga—mereka banyaaaaak cerita tentang teknik nelayan, sejarah arang, sampai keyakinan spiritual mereka. Plus, mereka ramah banget!
e. Siapkan mental “tidak sempurna.” Aku dulu sempat stuck karena WC umum penuh, terus hujan deras—jadi ya ya udah, nikmati aja, ingatkan diri kamu lagi “ini juga bagian serunya.” Biar terasa hidup, bukan brosur.
f. Bawa bekal makanan ringan. Kalau kelaperan, warung seadanya mungkin ada, tapi pilihan terbatas—sedia camilan antisipasi itu ide bagus
Aktivitas di Kampung Wisata Panglong
Sekarang masuk bagian favoritku: aktivitas yang bikin kampung ini hidup.
1. Jalan sepanjang dermaga & rumah panggung. Rasanya rileks banget—liat sampan terapung, anak-anak mainan, ikan dijemur—biasa aja tapi bermakna banget
2. Mengamati dapur arang. Bangunan kubah itu kayak portal ke masa lalu. Kamu bisa bayangin prosesnya: bakar bakau, jadikan arang, kirim ke Singapura—trus sekarang cuma tinggal batu bata kubah. Sedih tapi juga keren
3. Belajar sejarah Suku Laut. Penduduknya dulunya nomaden laut, tinggal di sampan, ahli navigasi, dan dulu dipercaya jaga perairan kerajaan Melayu. Sekarang sebagian di darat, tapi tradisi lautnya masih hidup
4. Mengapresiasi toleransi. Nggak tiap hari bisa lihat masjid dan gereja berdampingan. Itu simbol nyata hidup berdampingan meski beda keyakinan—bikin hati adem.
5. Fotografi budaya. Mau foto pemandangan? Dermaga, dapur arang, anak-anak main, warganya—semua punya cerita visual unik yang Google bakal suka banget (SEO-visual gitu, wkwk).
Refleksi Pribadi di Kampung Wisata Panglong
Aku tuh suka malu-maluin dulu, pernah underestimate tempat yang “terlihat desa sekali.” Tapi Kampung Wisata Panglong ngajarin aku: dari kesederhanaan justru tumbuh keterhubungan yang real—bukan cuma “like” di medsos, tapi rasa.
Aku inget pernah duduk bareng ibu-ibu di pinggir laut, sempat nanya tentang sejarah dapur arang. Jawaban mereka polos tapi penuh makna: “Dulu kami mengolah arang, kini kami bertahan dari laut.” Simpel, tapi dalam gitu maknanya—soal adaptasi, pelestarian, dan keberlanjutan budaya.
Nah, kalau kamu blogger seperti aku (bersemangat tapi agak awkward), Kampung Wisata Panglong tuh surga tulisan. Kamu bisa sisipin keyword kayak “Suku Laut Bintan”, “dapur arang Bintan”, “kampung wisata budaya”, “wisata tradisional Bintan”, semua itu ngeblend natural karena memang ada di situ.
Jadi, kalau kamu lagi hunting destinasi yang otentik, berkelas tapi nggak dibuat-buat—mending banget merapat ke Kampung Wisata Kampung Wisata Panglong . Bukan cuma dapat foto estetik, tapi juga pelajaran hidup dan rasa syukur.
Pengalaman Interaksi dengan Warga Lokal
Salah satu hal paling “ngena” dari kunjungan ke Kampung Wisata Panglong itu justru bukan bangunannya, tapi orang-orangnya. Aku sempat duduk di teras rumah panggung milik salah satu keluarga Suku Laut. Mereka nyuguhin kopi panas dan pisang goreng yang masih panas banget, sambil cerita tentang bagaimana dulu mereka hidup di laut, pindah dari satu tempat ke tempat lain.
Bayangin aja, dulu mereka tidur, makan, bahkan masak di atas sampan. Laut bukan cuma “mata pencaharian” tapi rumah bagi mereka. Sekarang, walau sebagian sudah menetap di darat, hubungan mereka sama laut itu nggak pernah hilang. Aku bahkan diajak lihat proses mereka menjaring ikan pakai teknik tradisional. Nggak ada peralatan canggih—cuma jaring, perahu kecil, dan keahlian membaca arus laut.
Dan ini menariknya: mereka nggak pelit ilmu. Mereka mau jelasin cara mereka tahu kapan ikan banyak, kapan arus kuat, bahkan trik memilih umpan. Buat aku, momen kayak gitu tuh priceless banget. Beda sama wisata komersil yang semua serba paket dan skrip. Di sini, interaksinya natural. Kalau kamu ramah, mereka ramah balik. Kalau kamu sopan, mereka anggap kayak keluarga.
Baca juga artikel menarik lainnya tentang Pantai Toronipa: Surga Tersembunyi yang Wajib Lo Coba Sekali Seumur Hidup! disini